Jumat, 24 September 2010

Cerita Pendek


Mencari Anak
Syarief Hidayat
Tak terasa hari begitu cepat berganti, akhirnya matahari siap untuk bekerja menyinari desa yang kini aku tinggali, ya...Kampung Cisalak Tengah. Aku sendiri aneh aku hijrah dari kota yang dijuluki kota Kembang ke kota yang sering terdengar dengan penghasil berasnya yang melimpah banyak. Di tahun 2008 semenjak kepindahanku dari kota Kembang yang kini julukan itu hampir saja tak enak untuk diucapkan alasan karena Bandung tak cantik seperti dulu lagi. Aku kini bekerja di sebuah sekolah di kecamatan. Kecamatan itu bernama Cibeber. Kesibukanku tentunya banyak dihabiskan dengan anak-anak di kelas dan di hari sabtu di luar kelas. Akhirnya hampir setahun aku menikmati indahnya pemandangan Cibeber yang aku sendiri tak pernah menyadari, atau bahkan berniat untuk tinggal di sini. Mungkin ini yang dinamakan dengan jalan hidup yang aku harus jalani. Hari ini, hari senin tak terasa waktu cepat secepat membalikkan telapak tangan. Kesibukan di sekolah begitu terlihat karena kelas IX telah usai melaksanakan Ujian Nasional. Seusai Ujian Nasional aku lekas berangkat ke Bandung untuk menemui kekasih tercinta, dan ya...namanya pertemuan perpisahan pun sangat cepat. Akhirnya ku pulang ke Cianjur pada hari Minggunya.
Pulang sekolah sekitar jam dua belas lebih lima puluh lima menit. Pulang ke rumah aku melihat pohon besar yang berdiri tegak berada di depan rumah kakakku, di atasnya telah berdiri dua orang yang sedang menebang dahan-dahan yang kecilnya yang menghalangi rumah tetanggaku. Aku baru sadar, bahwa beberapa hari terakhir ini di atas pohon yang berdiri tegak 900 di hadapan rumah kakakku itu telah berpenghuni beberapa keluarga kecil yang akan mewujudkan cita-citanya kelak dan juga menerus perjuangan hidup di dunia ini. Terjadi pembicaraan yang serius bahwa para penebang pohon telah menemukan beberapa sarang yang di sana telah ada telur yang belum menetas dan juga banyak anak-anak burung yang telah ditinggal induk burungnya untuk mencari makanan.
Sore pun tiba, saat-saat yang menyedihkan pun aku saksikan, beberapa induk burung berterbangan di atas pohon yang telah ditebang separuh itu. Ke mana anak-anakku...mungkin itu adalah terikan yang aku dengar dengan suara batin yang aku saksikan betapa berat beban yang telah dirasakan oleh beberapa induk burung yang senantiasa merasa tak terpikirkan bahwa akan kehilangan harta yang ia miliki selama ini.
Bukan uang, bukan perhiasan tetapi keharmonisan keluarga kecil yang akan meneruskan perjuangannya di muka bumi ini. Ke mana mencari anak.....ke mana...ya mungkin beribu kemungkinan tak akan terjadi karena semuanya telah berubah seusai pohon ditebang sebelah......anak adalah warisan yang tak ternilai harganya...anak adalah cita-cita...anak adalah impian keluarga..... aku merasakan lelahnya induk burung setelah mencari makanan untuk anak-anaknya, dan pas waktunya tiba untuk memberikan makanan ke mana harus mengadu, ke mana harus mencari anak-anak yang sedang membutuhkan makanan dengan segera.....
Malam mulai menjadi....suara adzan telah membawa kesedihanku menyaksikan satu, dua keluarga telah hilang...berpisah untuk selamanya..aku telah merasakan bagaimana rasanya berpisah dengan bapakku ketika tahun 2004 bapakku telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa.
Maghrib telah kulewati dengan wudhu yang suci dan sholat yang khusyu, tapi tetap bayangan itu masih merekam beberapa induk berterbangan mencari anak, mencari sarang, mencari keluarganya yang hilang...Ya..Allah apa yang sebenarnya telah terjadi, apa dosa burung-burung yang ingin hidup bebas, dalam lirik lagu sering kita dengar terbang sebebas burung di langit ternyata apa? Kehidupan burung telah terusik oleh kebebasan manusia yang tak bisa hidup berbarengan. Memang kehidupan di dunia, hanya tugas yang harus kita jalankan, tapi apakah ini semua itu adil? Jika kita melihat lebih jauh, masih banyak cerita-cerita tentang penggusuran yang sangat memprihatinkan kita semua......aku ingin berteriak bebas dan lepas.....apakah artinya hidup jika masih terkekang oleh aturan-aturan yang tak memihak kepada keadilan yang suci....keutuhan keluarga adalah nomor satu mencapai kebahagian yang diidam-idamkan, hilanglah hijau depan rumah kakakku..hilanglah suara-suara yang harmoni di pagi menemaniku mempersiapkan Vespa ’94 untuk beraktifitas. Mungkin doaku sampai secepat cahaya menuju tujuan yang dituju. Ya Allah berikanku kekuatan sekuat angin malam menembus dunia malam dalam mengarungi hidup di dunia ini....masih seakan tiap detik, menit, dan jam ingatan yang menyayat ke batu nisan bahwa kehilangan itu sakit, pedih...dan satu pertanyaan terlempar ke angkasa....ke mana anak-anakku.........ke mana harus mencarinya.......mencari...cari....mencari anak.....anak.....anak...


Penulis adalah pegiat buletin TjomrohaneutZine dari tahun 2003,
kini tinggal di Desa Cisalak Cibeber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar