Rabu, 03 Februari 2010

Ibunda [cerita pendek]


Pagi di hari senin matahari masih diselimuti awan shubuh. Aku masih terbaring di atas tempat tidurku. Jam dinding di kamarku menunjukkan 04:30, aku bangun dan langsung pergi ke kamar mandi. Berwudhu lalu lekas solat. Ibuku sedang sibuk menyiapkan beberapa adonan gorengan untuk dijual di warung kakakku yang kedua. Sebenarnya ibuku sudah bangun dari jam tiga dini hari tadi. Sedang aku waktu itu masih enak-enaknya tidur dan tak mau diganggu. Sejak bapakku masih ada pun ibuku sudah berjualan macam-macam makanan. Aku masih ingat ketika aku sekolah di SD Babakan II, ibuku berjualan nasi kuning. Aku sendiri sering menimatinya, sebagai sarapan sebelum aku pergi ke sekolah. Ketika itu yang menjadi langganan ibuku adalah para pegawai pabrik tahu hingga penjual tahu itu sendiri. Waktu itu bapakku masih ada, ia membantu ibuku dalam hal mengantarkan nasi-nasi kepada para pegawai pabrik. Aku juga masih ingat kenapa ibuku berhenti berjualan nasi kuning. Ya ketika itu kakakku perempuanku yang bernama Yuli Yunengsih yang lahir pada tanggal 17 Juli, mengalami sakit yang cukup parah. Kakakku mengidap penyakit TBC, hingga berat badannya pun turun drastis. Dan aku masih ingat hingga ia tidak bisa berjalan untuk pergi ke kamar mandi, hingga harus menggunakan skateboard yang aku miliki. Ia juga harus meminum 15 jenis obat dalam sehari. Kakakku waktu itu mual, ketika harus meminum 15 jenis obat dalam sehari. Hingga ia pun pernah menyelipkan sebagian obat-obatnya di sela-sela korsi sudut yang ada di ruangan tamu. Sungguh perih penderitaan yang dialami kakak perempuanku. Sekarang ia sudah mempunyai dua orang anak. Gias Muhammad, Zahra Gausani. Sekarang tinggal di Cianjur menikah dengan seorang guru. Aku masih di kamar dan menikmati gorengan hangat buatan ibuku. Hari ini aku tak ada jam mengajar, aku nikmati dengan beristirahat di rumah bersama ibuku. Oh...ya ibu juga tak hanya berjualan di bulan-bulan biasa. Ia juga berjualan pada waktu bulan ramadhan datang. Memanfaatkan warung kakakku, ibuku berjualan kolek. Dari kolek pisang hingga candil dan bubur sum-sum. Itulah ibuku, entah semangat apa yang ada di dalam dadanya. Dari tahun ke tahun ia terus bersiasat untuk mencari penghasilan. Apalagi ketika bapakku telah tiada. Tahun 2004, aku masih berada di bangku kuliah tingkat dua. Sejak bapak tiada ibuku membanting semangat untuk membiayai kuliah sehari-hari. Kakakku perempuanku yang pertama pun tak lepas membantu dalam hal ini. Ia terus mendorong dengan batin maupun lahir. Ibuku seminggu harus menyiapkan uang kuliah sebesar 75.000 sampai 80.000, sungguh uang yang tidak kecil bagiku. Aku tak tahu berapa laba yang ibuku peroleh dari hasil berjualannya waktu itu, yang aku tahu bahwa aku harus menerima uang kuliah selama seminggu sebesar hampir mencapai seratus ribuan.
Tak terasa jam sudah menunjukkan setengah tujuh lebih. Ibuku sudah beres menggoreng tinggal menunggu pembeli-pembeli yang lainnya berdatangan. Harga gorengan pun cukup murah yaitu seribu tiga buah. Ada bala-bala, gehu, martabak telor, dan pisang aroma. Yang paling aku suka adalah bala-balanya. Dari sore hari setalah belanja keperluan untuk berdagang, ibuku sudah membersihkan wortel dan engkol. Sesudah dipotong-potong dan diiris, ia lalu membersihkannya dengan air lalu ditiriskan. Di malam hari lalu ibuku membuat odonan untuk bumbu dengan menggunakan alat yang tradisional. Bala-bala ibuku beda dengan bala-bala yang aku temui di tukang gorengan di mana pun. Bala-bala ibuku besar dan mempunyai rasa yang khas. Apalagi kalau dimakan dengan nasi putih yang hangat ditambah saus bangkok dalam botol...uhhh manyus kata pa Bondan yang menjadi presenter Wisata Kuliner di salah satu stasiun televisi swasta. Ya... bumbu yang ibu buat terasa sekali, berpadu dengan sayur-sayuran yang telah bersih dicuci lalu dengan bumdu yang aku sendiri tak tahu apa namanya, dan terasa lada yang benar-benar pas nikmatnya, tiada bandingan. Aku sungguh bersyukur mempunyai ibuku yang pandai membuat goreng-gorengan. Coba bayangkan, jika ibuku tidak menjual goreng-gorengan mungkin aku kelabakan mencari sesuatu untuk dimakan sewaktu pagi datang. Untuk itu aku bangga menjadi seorang anak bungsunya.
Santai di rumah, beda dengan ibuku. Keringatnya menyilaukan pandanganku padanya. Aku melihat wajah lelah menghampiri dirinya. Aku ingin menghibur dirinya, namun aku tak bisa mendekati dirinya dengan hiburanku sendiri. Yang aku bisa aku hanya bisa berbuat yang terbaik untuk ibuku. Aku sempat membuat ibuku tercengang mendengar bahwa aku akan lulus tahun dengan, sedang seharusnya tahun sekarang. Ibuku mungkin menyimpan perasaan yang sedih mendengar pernyataan langsung dariku. Yang aku beratkan juga, aku harus mengajar dan menyelesaikan. Sungguh aku tak bisa menghadapi dua dunia yang benar-benar baru buatku. Kakakku juga sempat marah mendengar pernyataanku demikian. Setelaha aku jalani dengan sepenuh jiwa yang yang bersemangat, entah ada malaikat apa dalam diriku. Pertengahan maret 2007, aku ujian sidang skripsi. Sebulan kemudian aku diwisuda. Ketika hari wisuda tiba, masih ada yang kurang. Bapakku tak menyaksikan aku lulus kuliah. Hanya ibu, kakak-kakakku dan keponakan-keponakanku yang menjadi saksi.
Matahari mulai mendaki dan menyinari halaman rumah yang becek dan gang yang bercabang. Orang-orang di sekitar daerahku mulai sibuk dengan segala aktifitasnya yang berbeda. Anak-anak usia sekolah, bergerombol menuju istana pendidikannya masing-masing. Aku sendiri kembali menikmati gorengan kesukaanku yaitu bala-bala. Kadang aku suka lansung mengambilnya dari penggorengan, atau belum terlalu kering. Karena makan bala-bala lembek bagiku lebih enak, daripada kering. Apalagi tadi ditambah saus bangkok dan nasi putih. Kadang aku sering membarengkan makan nasi kuning dengan bala-bala buatan ibuku. Walaupun nasi kuningnya dari orang lain, yang penting bala-balanya buatan ibuku.
Jualan ibuku sedikit-sedikit mulai habis dibeli oleh para pembeli. Aku pun senang..ya karena ibuku dapat kembali membelikan keperluan-keperluan untuk berdagang esok harinya. Sekarang jam setengah sepuluh, matahari menghangatkan keadaan sekitar rumahku. Agak siang ibuku kadang suka istirahat dengan tidur-tiduran. Ya mungkin itu obat terjitu yang ibuku punya untuk mendelete semua kelelahan-kelelahan yang ada di dalam dirinya. Aku pun demikian kala aku diserang oleh sekumpulan lelah, obat yang paling mujarab adalah istirahat yang banyak. Aku masih di dalam kamar dan menikmati hari dengan musik dalam kotak elektronik.


Syarief H. kini tinggal di Cibeber Cianjur

1 komentar: