Rabu, 03 Februari 2010

Jina [cerita pendek]


Hari ini, hari selasa aku berangkat ke sekolah dengan menggunakan angkutan umum yang biasa aku tumpangi. Untungnya aku bangun agak pagi, hingga aku bisa leluasa menyiapkan segala keperluanku pergi ke sekolah. Aku selalu semangat untuk sekolah, tapi entah mengapa semenjak aku masuk ke sekolah ini, aku selalu saja semangat. Anak-anak sekelas selalu saja mengolok-olok namaku. Apalagi saat guru di depan kelas sedang mengabsen, giliran aku terpanggil aku selalu menjadi ejekan teman-temanku sekelas. Aku sekarang mulai memasuki halaman rindang hijau sekolahanku. Andai aku menjadi salah satu tumbuhan yang berada di taman sekolahku ini. Hati akan tenang damai dan selalu terperhatikan dan dirawat oleh tukang kebun. Aku langsung masuk ruang kelasku di dekat kantor guru. Aku selalu menjadi orang yang pertama datang ke ruangan kelas ini. Ketika aku melihat jam tangan tepat jam 6 lebih lima belas menit. Ruangan ini masih kosong, dan aku menikmati bersama bangku-bangku yang belum dipakai oleh teman-teman. Entah mengapa aku selalu ingin berangkat agak pagi ke sekolah. Sebentar lagi UTS, aku mulai sibuk dengan soal-soal latihan yang diberikan oleh setiap guru mata pelajaran. Huhh akhirnya teman-temanku datang, dan sekarang aku tidak kesepian lagi. Keramaian di kelas mulai terasa, Septi teman dekatku pun kini telah datang. Ia langsung membuka sebuah bungkusan yang ia bawa dari rumahnya. Ternyata beberapa potong roti isi. Aku diberinya, dengan senang hati aku menikmatinya dan melahapnya. Kami pun akhirnya canda tawa berbarengan dengan roti isi buatan ibunya Septi. Memang Septi tak sering membawa roti isi ke sekolah. Itu pun kalau ia tak sempat sarapan pagi di rumah, roti isinya itu ia bawa ke sekolah. Bel berbunyi dan bergema di sekitar sekolahan. Pelajaran pertama di kelasku adalah pelajaran sejarah. Aku sangat suka dengan pelajaran sejarah, apalagi sekarang tentang revolusi di dunia Barat. Aku suka sejarah, karena pelajaran sejarah bagiku adalah mengenang para pahlawan yang telah meneteskan darahnya untuk perjalanan bangsanya. Revolusi di Rusia, aku pernah membuka buku-buku tentang revolusi Rusia. Dengan sejarah aku juga dapat mengenal gerakan-gerakan yang ada di dunia. Tak hanya itu tokoh-tokoh yang penting dan berpengaruh di dunia aku dapat mengetahuinya. Seperti Muhammad SAW, Karl Marx, Lenin, Martin Luther King Jr, Malcom X, Mumia Abu Jamal, Mao Tse Sung, Voltaire, Adam Smith, dan banyak lagi. Guruku sekarang sedang asik mengabsen. Kini saatnya datang, aku tak ingin dipanggil oleh guruku. Bukannya kenapa, aku selalu saja diejek oleh teman-temanku. Padahal namaku Jina Marxiana. Kadang-kadang temanku mempelesetkan dengan nama Jinah Maksiat. Itu tak berhenti pada saat selesai absen, tapi juga kadang-kadang saat aku melewati sekumpulan anak-anak lelaki. Suatu saat pernah, aku pertama kali masuk ke sekolah ini, dan ada teman lelaki yang terus saja memperolok-olok namaku. Waktu aku masih duduk di kelas X, saking kesalnya aku sempat memukulnya di wc pada saat istirahat. Akhirnya aku dipanggil ke BK (bimbingan konseling). Dan aku pun diskor beberapa hari. Nama lelaki itu adalah Gorky M. Ia kini sekelas dengan di kelas XII IPA 3, ia cukup pintar tapi aku lebih pintar. Waktu itu aku pernah berdebat dengannya tentang pelajaran sejarah, untung saja yang menjadi penengah adalah pak Kamil, guru sejarahku yang aku banggakan. Ia tetap mempertahankan pendapatnya tentang pelajaran sejarah, bahwa sejarah di Indonesia itu tidak jelas, ia tak menjelaskan mengapa ia melontarkan pendapatnya begitu, sedangkan aku pada waktu itu menjelaskan bahwa sejarah dapat dibuat dengan sesuka hati jika melihat siapa yang waktu itu berkuasa. Akhirnya, pak Kamil pun menjelaskan bahwa pendapat kami berdua itu betul dua-duanya. Dengan terbiasanya aku mulai terima keadaan seperti itu. Akhirnya kami pun bertemu di ekstrakulikuler. Aku masuk Klab Baca di sekolahku. Aku mulai terbiasa dengan kegiatan-kegiatan membaca dan menulis. Gorky, pun akhirnya masuk Klab Baca. Dengan bimbingan guru bahasa, aku tertarik pada kegiatan-kegiatan di ekstrakulikuler ini. Setiap hari jum’at sore aku berkumpul dengan anak-anak sesekolah. Kebanyakan anak-anak kelas XI, untuk sekarang koordinatornya adalah Gelar, anak XI IPS III. Ehmm tampaknya aku sedang menghayal. Tak terasa bel istirahat berbunyi. Aku menuju kantin bu Enci. Aku memesan bubur keju dengan taburan suwir ayam. Aku tak sempat sarapan, untung saja tadi pagi aku diajak makan bareng roti isi dari Septi. Uh.. akhirnya datang juga pesananku. Dengan taburan emping enak juga. Teh manis hangat mulai kunikmati. Dua puluh menit bagiku sangat berguna. Selain istirahat aku, bisa menikmati suasana di sekolahanku yang asri. Aku sangat senang jika melihat pohon-pohon hijau di lingkungan sekolah, karena bagiku merasa tenang dan damai. Bukan saja tenang dan damai, tapi aku ikut merasakan bahwa sekarang di dunia ini telah mengalami pemanasan global. Di mana lapisan es di kutub utara dan selatan meleleh karena panasnya bumi yang meningkat. Dengan banyak pohon di sekolahku berarti telah mengurangi dampak pemanasan global. Akhirnya bel masuk pun berbunyi, aku masuk kelas melewati lorong kelas anak-anak kelas X. Hari ini pelajaran bahasa Indonesia, ya gurunya masih sakit. Akhirnya aku pun diam dan mengerjakan tugas dengan sedikit keramaian di dalam kelas. Tak lama datang wakil kepala sekolah. Pak Iwan, adalah kesiswaan di sekolah saya. Ia mendapatkan laporan bahwa ada anak yang sering mengikuti diskusi-diskusi tentang politik di salah satu ruang baca alternatif. Akhirnya aku pun dipanggil ke ruang kepala sekolah. Aku merasa tidak ada yang salah, apalagi keikutsertaanku pada diskusi itu karena ingin menambah wacana saja tentang politik, sosial, dan ekonomi kekinian. Memang waktu itu, ada penggrebegan. Karena waktu itu sedang membahas paham Marxisme. Mungkin karena isu-isu komunislah yang dibahas pada waktu hingga aku dipanggil oleh wakil kepala sekolah. Aku mulai diserang dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat aku tersudut oleh keadaan. Aku terdesak...apa lagi sejak kedatangan wali kelasku bu Nuraeni, guru kimia. Ia tampak ingin membelaku melihat posisiku semakin terdesak. Aku menjelaskan bahwaku hadir pada waktu itu hanya sebatas peserta diskusi, artinya tidak terlibat dengan panitia penyelenggara acara tersebut. Pak Kamil pun datang, dan malah ia yang membelaku dengan pembelaan-pembelaan layaknya seorang pengacara terhadap kliennya. Ruangan kepala sekolah mulai panas, aku dimarahi aku takut terlibat dengan gerakan Marxisme di kota Bandung. Pak Kamil lebih jauh membelaku, lagi-lagi ia pun marah karena merasa kebebasanku dirampas oleh pihak sekolah. Tepat jam setengah dua belas, aku keluar dari ruangan neraka itu. Dalam benakku banjir akan pertanyaan-pertanyaan yang tak masuk akal. Mengapa kebebasanku terampas oleh laporan yang datang ke sekolah dan tidak diberitahukan siapa yang melaporkannya. Aku masuk kelas, aku mulai muak dengan sistem yang ada di sekolah ini. Di hadapanku lembar kerja tak semangat aku mengisinya. Aku terdiam, dan terus memikirkannya. Bel pulang sekolah pun berbunyi dan aku tak semangat untuk pergi pulang. Kebebasanku terengut, oleh kesalahpahaman. Matahari tepat berada di atas kepalaku, aku diam di kantin dan terus memikirkan. Sebenarnya aku masih tanda tanya pada kejadian yang tadi aku alami. Aku enggan pulang ke rumah. Aku ingin melawan. Aku membuka buku harianku, kubuka dan kutulis. Akhirnya aku mempunyai ide untuk memberontak lewat tulisan. Agar semua tahu, bahwa aku tak salah. Aku masih memikirkan rencana-rencana yang akan aku lakukan di hari-hari yang akan datang. Tak lama kemudian Gorky berada di hadapanku. [bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar